Teori Belajar John Dewey



Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

Belajar merupakan suatu usaha sadar yang bertujuan untuk merubah sikap seseorang. Mengingat gaya belajar siswa yang berbeda-beda sehingga banyak tokoh-tokoh pendidik yang membahas mengenai teori-teori pembelajaran, seperti teori belajar Jean Peaget, teori belajar Gestalt dan masih banyak lagi.

John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.

A.     Biografi John Dewey

John Dewey adalah seorang filsuf, teoritikus, dan reformator pendidikan, serta kritikus sosial yang sangat memengaruhi masyarakat Amerika Serikat di awal dan pertengahan abad XX. Bersama Charles Sanders Peirce dan William James, ia menjadi juru bicara utama filsafat khas Amerika, Pragmatisme, dan ia adalah pemimpin gerakan pendidikan progresif.

John Dewey lahir 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont. Ia anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Artchibald Dewey dan Lucina Rich. Setelah menyelesaikan pendidikan persiapan di sekolah negeri Burlington, ia masuk ke Universitas Vermont pada tahun 1875, tetapi baru pada tahun keempat ia menemukan minat khusus intelektualnya. Pada tahun 1882, ia mengikuti program pasca sarjana di Universitas John Hopkins yang pada waktu itu baru didirikan.

Pada tahun 1886 Dewey menikahi mantan muridnya, Harriet Chipman, dan mereka dikaruniai enam orang anak. Istrinya sangat berminat pada pandidikan dan masalah-masalah sosial, dan hal ini memengaruhi Dewey.

Dewey mengawali karya besarnya dalam teori dan praktik pendidikan di Universitas Chicago, saat ia menjabat kepala departemen filsafat, psikologi, dan pedagogi pada tahun 1894. Saat di Chicago inilah Dewey menjadi terkenal dalam dunia pendidikan.

Pada tahun 1904, karena pertentangannya dengan rector mengenai pengelolaan dan pembiayaan departemen pendidikan, Dewey meninggalkan Chicago dan menjadi professor filsafat di Universitas Culumbia, New York.

Istri Dewey meninggal dunia setelah 41 tahun pernikahan mereka dan selama 19 tahun berikutnya Dewey tinggal berpindah-pindah dari satu anak ke anak yang lain. Lalu pada usia 87 Dewey menikah lagi dengan Roberta Lowitz Grant, yang berusia 42 tahun. Tak lama setelah menikah mereka mengadopsi dua anak Belgia yang menjadi yatim-piatu akibat perang.

Dewey dikaruniai kesehatan yang baik sampai ia berusia 80 tahun. Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952, Dewey meninggal akibat pneumonia.

 

B. Metode Pengajaran John Dewey
Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berfikir aktif hati-hati, yang dilandasi proses berfikir kearah kesimpula-kesimpulan yang didefinitif melalui lima langkah yaitu sebagai berikut:
  1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri
  2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya 
  3.  Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia di pimpin oleh pengalamannya sendiri 
  4.  Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing
  5. Selanjutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang di pandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul tidaknya pemecahan masalah itu. Bila mana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itu lah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antar masalah dan hipotesis kea rah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang berfariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah dimana suatu hipotesis dapat di uji dan di rumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran.
Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berfikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negative. Pengalaman yang positif adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negative adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu di pakai lagi.

C. Materi pembelajaran John Dewey
Menurut John Dewey materi pembelajaran dan metode reflektif didalam memecahkan masalah, yaitu proses berfikir, hati. Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang di dasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

  1.      Teori : seperangkat konstruk atau konsep, devinisi atau treposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara fariabel-fariabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
    2.      Konsep : suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekususan-kekususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
    3.     Generalisasi : kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
    4.     Prinsip : yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
    5.   Proses : yaitu seri langkah-langkah yang ber urutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
    6.      Fakta : sejumlah informasi khusus dalam materi yang di anggap penting, terdiri dari terminology, orang dan tempat serta kejadian.
    7.      Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi
    8.    Contoh/ ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
    9.      Definisi : yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/ kata dalam garis besarnya.
    10.  Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresifisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktifisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topic-topik yang di angkat dari masalah-masalah social yang prusial, misalnya tentang ekonomi, social bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupadan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan diatas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu, maka dalam praktiknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel.
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, pendidikan memiliki wewenang penuh untuk menetukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam praktiknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :
  1. Sahih (valid), dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Disamping itu, juga materi yang diberikan maerupakan materi yang actual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman kedepan.
  2. Tingkat kepentingan, materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  3. Kebermaknaan : materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar prngrtahuan dan ketrampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangakan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Layak dipelajari, materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  5. Menarik minat ; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotovasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
 

D.     Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan John Dewey

Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experiencee), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain: dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Democracy and Education, Dewey, 1961 dalam (Dewi Purnawati, 2011) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain.

Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digaris bawahi di sini. Menurut Garforth, 1966 dalam (Yusrin Orbyt 2012) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republik, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen.

 

E.    Konsep Belajar dan Teori Pembelajaran Kognitif John Dewey

Sugihartono dkk, 2007: 105 mengatakan bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus agar  berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.

Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan konstruktivistik. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) dalam kutipannya menjelaskan konsep penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Pengamatan atau pemahaman yang secara mendadak tersebut sering diartikan sebagai ide atau gagasan yang secara tidak sengaja muncul di dalam memori kita. Meskipun mendadak pengamatan atau pemahaman tersebut didapat terlebih dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam ini bersifat insidental.

Sugihartono dkk, 2007 menjelaskan perbedaan antara teori gestalt dengan konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan. Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey.

John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.

John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Weare Noegayya, 2012), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.

 

F. Metode Pengajaran John Dewey
Menurut John Dewey dalam (Anwar Holil, 2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah :


1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya. 
3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4. Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.

 

Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positf adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi. 

 

Sekian pemaparan dari saya, jika ada salah kata saya mohon maaf, dan terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk berkunjung




Komentar

  1. https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/10/teori-belajar-john-dewey.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

Teori Belajar Thorndike